CERITA SERAM PENDAKIAN GUNUNG 2202 MDPL

CERITA SERAM PENDAKIAN GUNUNG 2202 MDPL

 Jho hanya diam saja mendengar semua ucapan ketua tim...dia sama sekali tidak perduli karena masih sedikit kesal akibat di marahi tadi.





Jho selalu diam ketika di ajak bicara oleh ketua tim..
Hingga suatu momen Jho terkejut dan langsung emosi ketika mendengar ucapan ketua tim yg dimana pencarian akan di hentikan 2 hari kedepan jika masih belum menemukan hasil..
Jho pun langsung angkat suara..
Jho : loh gak bisa gitu tulang!! ( Ucap nya sambil menunjukan wajah kesal)
Ketua tim : iya kita bisa apa..itu semua perintah dari atasan..lagi pula kita gak punya personil yg cukup karena sukarelawan pulang satu persatu sedangkan anggota timsar sebagian di lempar ke daerah lain untuk membantu evakuasi gempa dan longsor..
Jho : iya tapi kan kita harus mencari mereka sampai ketemu..apa tulang mau kejadian 2 tahun lalu terulang lagi( Jho keceplosan mengungkit masalah 2 tahun lalu)
Ketua tim : apa maksud kamu 2 tahun lalu..? Kamu mau menyalah kan kita atas pendaki tidak di temukan 2 tahun lalu?dan kamu tau apa tentang 2 kejadian 2 tahun lalu?
Jho : aku pendaki yg tulang selamatkan 2 tahun lalu..
Ketua tim kaget mendengar itu..
Dia mulai mengingat ingat kejadian 2 tahun lalu..dan benar ..dia mulai mengenali Jho yg dulu pernah mereka selamat kan..
Jho : pokonya kita harus terus mencari mereka tulang..karna aku pernah mengalami apa yg mereka alami..aku gak mau kejadian masalalu terulang lagi...
Ketua tim : apa maksud mu mengalami apa yg mereka alami..
Jho : mereka pasti sama seperti kejadian ku dulu. Mereka pasti di sesat kan oleh mahluk gaib..
Ketua tim : kita gak boleh bicara seperti itu..kita harus terus berpikir positif. bisa aja mereka berada di suatu tempat di hutan ini..
Jho : kita cuman tau jawaban nya besok ketika Tika dan eka sadar..
Akhirnya jhopun pergi meninggal kan ketua tim dan kembali ke tendanya untuk beristirahat..
Sebelum tidur dia sempat menelpon Togar agar merapat membantu pencarian jika urusan nya sudah selesai.
Bersambung
 KAKAKKU PEMUJA KUNTILANAK BAB 9

KAKAKKU PEMUJA KUNTILANAK BAB 9

 KAKAKKU PEMUJA KUNTILANAK

Bab 9



Bayangan seperti kain itu. Berkelebat pindah dari atas ke atas pohon mengikutiku sampai dengan rumah. "Ibu itu tadi apa?" tanyaku.
"Itu mahkluk lenjeh yang suka jail sama manusia tapi jika di bacakan ayat Ayat Allah dia akan meraung kepanasan.” ucap Ibu setelah mengunci pintu.
"Serem sekali Bu, Desa kita sekarang banyak setannya!" geramku.
"Entahlah Put.. Tapi ingat kamu kudu lebih berhati-hati. Tidak sembarang menerima makanan atau minuman dan ua-ng dari kakakmu itu!" pesan Ibu hampir setiap hari aku dengar.
***
Seperti biasa hari-hari aku di sibukkan dengan kerja di warung Uni. Dan Ibu di sibukkan dengan membantu Ibu yang akan melahirkan. Tugas mulia seorang dukun beranak tanpa lelah membantu warga yang akan melahirkan.
Hari ini libur kerja bisa sejenak bersantai di rumah. Aku baru selesai menyapu halaman dan membakarnya. Daun-daun mangga yang kering aku sapu sampai bersih lalu membakarnya di tempat yang sudah Ibu siapkan.
"Teh dari mana?" tanyaku.
Di Desaku saling menyapa dan menegur dan menanyakan kabar sudah sangat lazim. Kekeluargaan lebih kental walau pun ada segelintir yang Julid.
"Dari kebun Teh Mayang Neng Putri." jawabnya sambil duduk di balai-balai di bawah pohon jambu. Aku pun ikut duduk di sebelahnya.
Walah lelah habis dari sawah itu terlihat sangat jelas.
"Ikut kuli apa Teh. Di sana!" tanyaku.
"Itu Neng, panen cabe! ini di kasih ikan emas sama Teh Mayang tadi." ucap Teh Sumi. Sambil memperlihatkan ikan emas yang besar ada satu kilo lebih.
"Besar sekali Teh. Ikannya, di goreng kering pastinya itu sedap." ucapku sambil nyengir.
"Iya Neng enak, di goreng terus di cobek. Teteh pamit dulu takutnya Mak Enah nyariin!" jawab Teh Sumi lalu bangun dari duduknya.
Aku menatap punggung Teh Sumi seusianya belum juga menikah sedikit kekurangan laki-laki tidak ada yang mau. Teh Sumi tinggal berdua sama Mak Enah seperti aku tinggal berdua sama Ibu.
Aku masuk kedalam rumah. Tiba-tiba tanpa salam Teh Mayang masuk kedalam rumah.
"Bikin kaget saja Teh. Atuh masuk kedalam rumah itu salam dulu." gerutuku entah kemana Teh Mayang yang dulu sangat salihah sekarang dari penampilan saja sangat jauh berbeda.
Kakakku hanya cengengesan saja. Senyumnya melebar aneh bikin merinding yang melihatnya.
"Ibu mana? Neng?" tanyanya.
"Ibu masih tidur Teh.. Kurang sehat." jawabku.
"Sudah tua ini. Neng sakit juga tidak apa-apa. Ujung-ujungnya kemana kalau tidak ma-ti."
"Astaghfirullah Teh Mayang mendoakan Ibu seperti itu!" desisku. Namun tidak di respon sama Kakakku itu.
"Neng, kamu tidak ingin gituh hidup banyak ua-ng?"
"Aku. Ya mau atuh Teh, tapi dengan ua-ng halal. Percuma banyak ua-ng kalau ua-ng itu haram. Tidak akan membawa keberkahan dunia akhirat Teh.” ucapku yang di bales wajah masam si Teteh.
"Ah kamu ini munafik." ucapnya lalu melangkah keluar dari dalam rumah.
Aku hanya menggeleng kepala saja, dengan tingkah dan kelakuan kakakku itu. Ada yang terbesit di dalam hati apa betul Teh Mayang yang memuja kuntilanak demi kekayaan. Namun aku tepis pikiran buruk itu. Semoga bukan Kakakku pelakunya.


Ibu keluar dari dalam kamar dengan wajah pucatnya. "Neng tadi ada Kakakmu?" tanyanya.
"Iya Bu, singgah sebentar." ucapku sambil masuk kedalam dapur membuatkan Ibu teh hangat.
"Tadi Ibu sudah minum obat. Alhamdulillah, badan rasanya agak sehat, Neng, besok mau ke puskesmas mendampingi Bidan Susi." ucap Ibu sambil menyesap Teh hangat buatanku.
"Iya Bu, yang penting Ibu sehat dulu!" Ibu sering ikut ke puskesmas mendampingi Bidan Susi dan antara mereka selayaknya Ibu dan Anak saja.
______
Sore yang indah dengan cuaca yang cerai membuat Desa terasa hidup. Aku sedang berdiri menunggu antrian cilok di kagetkan dengan kedatangan Emak Enah dengan panik.
"Emak teh kenapa atuh?" tanya Teh Dian. Yang sama denganku sedang ngantri cilok kuah pedas.
"Ituu, Neng Sumi kejang-kejang!"
"Astaghfirullah..!" teh Dian berlari ke rumahnya Mak Enah. Aku menuntun wanita sepuh itu.
"Mak mana Neng Putri." ucapnya dengan wajah yang sudah menua itu banjir dengan air mata.
Dengan tergesa aku memanggil Ibu yang kebetulan sedang di belakang rumah. "Ibu itu ada Mak Enah nyariin Ibu sambil menangis." ucapku tanpa jeda.
Mendengar ucapanku, Ibu tergesa mencuci tangan. ”Di mana atuh Neng, Mak Enahnya."
"Itu di depan Mak."


Aku mengekor Ibu di belakang ternyata Mak Enah sudah tidak ada. "Kita kerumahnya saja Neng! kunci pintu rumah!"
Di rumahnya Mak Enah sudah banyak orang. Raung tangisan terdengar sangat menyayat hati.
"Ya Allah, apa yang terjadi sama Mak Enah!" gumam Ibu.
Di ruang tamu yang sempit Teh Sumi sedang sakaratul maut di bimbing sama Abak Kodir. Mata melotot dengan kedua tangan mencekik lehernya sendiri.
"Kenapa? harus Sumi kenapa? harus Anakku!" ratap perempuan sepuh itu.
Teh Sumi terus saja mengerang seperti orang yang sedang kesurupan tangannya tidak bisa di lepaskan dari lehernya. Teh Sumi men-ce-kik lehernya sendiri.
Tidak berapa lama jerit tangis terdengar sangat riuh. "Astaghfirullah!" Teh Sumi terkulai dengan lemas nyawa meninggalkan raganya gadis keterbatasan itu sudah menghembuskan nyawanya dengan cara yang sepertinya sangat menyakitkan.
"Inalillahi wainailaihi rojiun!" ucap Abah Kodir tangannya mengusap mata Teh Sumi yang melotot dengan menyisahkan pupil mata yang putih saja.
Mak Enah terjatuh tidak sadarkan diri. Di bopong sama ibu-ibu sedang Abah Kodir tertunda sambil terisak menangisi kepergian Teh Sumi yang tidak wajar itu.
Tadi siang aku masih bercerita sama Teh Sumi. Tapi kenapa? sekarang Allah ambil nyawa wanita itu. Tidak terasa air mata ini meleleh. Aku jongkok di samping rumah sambil menangis
wajahku tenggelam di antara kedua lutut.
Teh Mayang melintas di depanku dengan senyum yang menyeringai tidak ada tanda-tanda duka seperti yang lainnya.
”Neng kamu kenapa? jongkok di situ?" tanya Teh Mayang sambil memegang pucuk kepalaku.
Aku mendongak menatap wajah Kakak perempuanku itu. Wajahku sudah kusut terlalu banyak menangis. Emang Teh Sumi hanya sebatas tetangga tapi Teh Sumi sangat dekat denganku. Keterbatasan Teh Sumi di jauhi sama yang lainnya hanya aku satu-satunya yang sering mendengar kan keluh kesahnya.
"Teh Mayang lagi ngapain di sini?" tanya balikku.
"Loh.. Lagi melihat si Sumi!"
"Oh.. Tadi pagi Teteh ngasih ikan yang sangat besar sama Teh Sumi. Tapi tanpa Teh Sumi sadari ikan itu yang memisahkan jiwa di dalam raganya!" ucapku dengan ketus.
”Maksudmu apa? Putri?" bentak Teh Mayang matanya jelalatan takut obrolannya denganku ada yang mendengar.
"Apa kamu tidak kasihan dengan Mak Enah yang sudah sepuh sementara Teh Sumi tulang punggung wanita renta itu!" desisku. Lalu bangun dan berdiri mensejajarkan dengan Kakakku itu.
”Kamu itu sudah ngaco. Seperti orang yang sedang mabok kecubung!" pekiknya tertahan. Lalu berjalan meninggalkan aku yang sedang menatap tajam ke arahnya.
Cerita Horor Pendaki Gunung 3.078 MDPL

Cerita Horor Pendaki Gunung 3.078 MDPL

Cerita Horor Pendaki Gunung

3.078 MDPL 



“Bener gak sih ini jalurnya?”

“Lo jangan berisik bisa gak sih? Udah ikutin gue aja.”
Kabut semakin lama semakin menutupi jarak pandang keempat pendaki ini, tiga jalur yang bercabang membuat Rama kebingungan untuk memilih jalur yang benar.
Cahaya dari langit mulai meredup dan tertutupi oleh kabut yang menyelimuti pepohonan yang tinggi menjulang. Langkah kaki mereka mulai gemetar saat sosok yang menyerupai wanita bergaun hitam tengah duduk disalah satu pohon besar yang berada dipinggir jalur pendakian.
Rama yang berada paling depan tiba-tiba saja menghentikan langkahnya dan membuat ketiga temannya terkejut dan menabarak Rama yang tiba-tiba saja berhenti mendadak.
“Lo kenapa berhenti sih?” tanya Tito bernada kesal.
Suuuuutttttttt... Rama menempelkan jari telunjuk pada bibirnya dan melemparkan pandangannya kearah wanita yang sedang duduk didahan pohon tersebut.
Seketika pandangan keempat pendaki tersebut tertuju pada sosok yang dimaksudkan Rama. Terdengar suara ketakutan dari Rani yang berada persis dibelakang Tito.
“To, iii.. iii.. itu, siapa?” ungkap Rani dengan nada gemetar.
Pandangan mereka terfokus pada sosok wanita bergaun hitam dan seketika semilir angin berhembus bersamaan dengan kabut yang bergulung dari arah puncak Gunung Ciremai. Mereka berempat saling berpegangan, ketakutan membuat mereka seakan-akan tidak memiliki tenaga untuk menopang tubuhnya masing-masing.
Braaaaaakk!
“Tolong! Tolong! Jangan ganggu, pergi Lo.”
Rama, Rina dan Tito spontan menengok suara teriakan Adi yang berada paling belakang. Suasana semakin mencekam, saat mereka melihat Adi sedang berteriak histeris dan menunjuk-nunjuk kearah pepohonan dipinggir jurang.
Rama berlari dan menarik ransel yang melekat dipunggungku Adi.
“Di.. Lo kenapa? Sadar, Di, sadar.”
“Ram, gue takut, gue mau pulang, Ram,” Adi merengek seperti anak kecil dengan tatapan mata yang terus tertuju kearah jurang.
Entah apa yang salah dengan pendakian mereka berempat, tapi teror ini terus berlangsung dan membuat keempat pendaki tersebut ketakutan. Penampakan sosok wanita bergaun hitam dan sosok misterius yang dilihat Adi telah membuat nyali mereka berempat ciut.
Tiba-tiba!
“Pandan! Kalian nyium bau pandang gak?” ungkap Rina sambil memeluk tangan Tito dengan sangat keras.
Seketika suasana menjadi amat sunyi setelah penciuman mereka terusik oleh bau pandan yang berada ditengah hutan gunung Ciremai. Rama yang menjadi pemimpin dipendakian ini terlihat ketakutan, wajahnya sangat pucat tatkala bau pandan ini tercium sangat menyengat.
Rama membantu Adi untuk berdiri, setelah itu tatapan matanya liar menyapu sekitar hutan yang mulai gelap dan tertutupi kabut tebal. Kedua tangannya diangkat setengah dada untuk memberikan perintah agar ketiga temannya tetap tenang.
“Wewe Gombel!”
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Rama membuat ketiga temannya membayangkan sosok wanita yang amat menyeramkan dan kehadiran sosok tersebut diawali dengan bau pandan yang amat menyengat.
Tak berselang lama, angin bertiup kencang dan membuat suasana didalam hutan menggema seperti suara tawa yang amat menakutkan. Rama yang kini berada paling depan kembali melihat sosok yang tadi ia maksudkan.
“Ia datang!”
“Siapa? Siapa yang datang?”
“Wewe Gombel! Mulai sekarang, Lo semua berdoa dalam hati dan gimanapun caranya, jangan sampai natap matanya, kalau tidak....”
“Kalau tidak kenapa, Ram?” ucap Adi memotong ucapan Rama.
“Lo bakal dibawa ke alamnya dan gak akan kembali.” Suara Rama terdengar gemetar ketika memberitahukan hal ini kepada ketiga temannya.
Keadaan hutan seketika mendadak menjadi amat sunyi, detak jantung keempat pendaki tersebut terdengar dan membuat ketakutan semakin menjadi-jadi.
“Aaah.. gue kaga takut, wooii.. maju Lo sini, lawan gue,” teriak Tito dengan sangat lantang.
Tak berselang lama terlihat dari arah atas pohon sosok tersebut turun dengan sangat cepat dan berhenti persisi dihadapan Tito dengan tubuh terbalik. Sosok wanita yang amat menyeramkan dengan tubuh yang dipenuhi oleh luka yang menganga dan bernanah. Bau pandan seketika tergantikan dengan bau busuk yang sangat menyengat.
Tubuh Tito terlihat tak bergerak, sosok Wewe Gombel kini tengah menatap kedalam mata Tito. Perlahan tubuh Tito dirangkul dengan sangat erat dan dengan cepat tubuh Tito ditarik keatas lalu menghilang dikegelapan, yang tersisa hannyalah teriakkan Tito dikejauhan dan permintaan maaf.
“Lariiiiiiiiiiiii!”


Rama menarik tangan Rina dan juga Adi, mereka tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan berlari menyelamatkan diri. Entah akan kemana pelarian mereka bertiga, yang ada didalam benak mereka adalah berlari dan menjauh dari sosok yang amat menyeramkan tersebut.
Sekitar satu jam mereka bertiga berlari, didepan sana mereka melihat enam orang pendaki yang kebetulan ingin mendaki kegunung tersebut. Langkah kaki mereka terhenti dan bersandar pada salah satu pohon yang berada dipinggir jalur pendakian.
“Apakah diantara kalian ada yang bernama, Rama?” Tanya salah satu pendaki yang memakai pakaian seperti Team SAR.
“Sa.. saya, Rama, Bang,” jawab Rama terengah-engah.
“Alhamdullilah, akhirnya kalian kami temukan. Ayo, kami bantu bawakan tas kalian dan kita harus segera turun dari hutan ini,” ucap pemuda tadi.
Akhirnya mereka dievakuasi dari hutan gunung Ciremai dan setibanya dibasecamp Linggarjati, Rama dan Adi dibuat terkejut setelah melihat ada dua kantung jenazah yang tergeletak dan mereka diperlihatkan siapa yang berada didalam kantung jenazah tersebut.
Sreeekkkkkk... sleting dibuka.


Rama dan Adi terduduk lemas ketika melihat dua temannya tengah berada didalam kantung jenazah.
“Mereka berdua kami temukan sedang berbaring dibawah pohon besar dengan keadaan tanpa busana, apakah benar ini teman kalian?”
Rama dan Adi hanya saling menatap dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
TAMAT.



Popular Posts

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Popular Posts

Entri Populer