KAKAKKU PEMUJA KUNTILANAK
Bayangan seperti kain itu. Berkelebat pindah dari atas ke atas pohon mengikutiku sampai dengan rumah. "Ibu itu tadi apa?" tanyaku.
"Serem sekali Bu, Desa kita sekarang banyak setannya!" geramku.
"Entahlah Put.. Tapi ingat kamu kudu lebih berhati-hati. Tidak sembarang menerima makanan atau minuman dan ua-ng dari kakakmu itu!" pesan Ibu hampir setiap hari aku dengar.
***
Seperti biasa hari-hari aku di sibukkan dengan kerja di warung Uni. Dan Ibu di sibukkan dengan membantu Ibu yang akan melahirkan. Tugas mulia seorang dukun beranak tanpa lelah membantu warga yang akan melahirkan.
Hari ini libur kerja bisa sejenak bersantai di rumah. Aku baru selesai menyapu halaman dan membakarnya. Daun-daun mangga yang kering aku sapu sampai bersih lalu membakarnya di tempat yang sudah Ibu siapkan.
"Teh dari mana?" tanyaku.
Di Desaku saling menyapa dan menegur dan menanyakan kabar sudah sangat lazim. Kekeluargaan lebih kental walau pun ada segelintir yang Julid.
"Dari kebun Teh Mayang Neng Putri." jawabnya sambil duduk di balai-balai di bawah pohon jambu. Aku pun ikut duduk di sebelahnya.
Walah lelah habis dari sawah itu terlihat sangat jelas.
"Ikut kuli apa Teh. Di sana!" tanyaku.
"Itu Neng, panen cabe! ini di kasih ikan emas sama Teh Mayang tadi." ucap Teh Sumi. Sambil memperlihatkan ikan emas yang besar ada satu kilo lebih.
"Besar sekali Teh. Ikannya, di goreng kering pastinya itu sedap." ucapku sambil nyengir.
"Iya Neng enak, di goreng terus di cobek. Teteh pamit dulu takutnya Mak Enah nyariin!" jawab Teh Sumi lalu bangun dari duduknya.
Aku menatap punggung Teh Sumi seusianya belum juga menikah sedikit kekurangan laki-laki tidak ada yang mau. Teh Sumi tinggal berdua sama Mak Enah seperti aku tinggal berdua sama Ibu.
Aku masuk kedalam rumah. Tiba-tiba tanpa salam Teh Mayang masuk kedalam rumah.
"Bikin kaget saja Teh. Atuh masuk kedalam rumah itu salam dulu." gerutuku entah kemana Teh Mayang yang dulu sangat salihah sekarang dari penampilan saja sangat jauh berbeda.
Kakakku hanya cengengesan saja. Senyumnya melebar aneh bikin merinding yang melihatnya.
"Ibu mana? Neng?" tanyanya.
"Ibu masih tidur Teh.. Kurang sehat." jawabku.
"Sudah tua ini. Neng sakit juga tidak apa-apa. Ujung-ujungnya kemana kalau tidak ma-ti."
"Astaghfirullah Teh Mayang mendoakan Ibu seperti itu!" desisku. Namun tidak di respon sama Kakakku itu.
"Neng, kamu tidak ingin gituh hidup banyak ua-ng?"
"Aku. Ya mau atuh Teh, tapi dengan ua-ng halal. Percuma banyak ua-ng kalau ua-ng itu haram. Tidak akan membawa keberkahan dunia akhirat Teh.” ucapku yang di bales wajah masam si Teteh.
"Ah kamu ini munafik." ucapnya lalu melangkah keluar dari dalam rumah.
Aku hanya menggeleng kepala saja, dengan tingkah dan kelakuan kakakku itu. Ada yang terbesit di dalam hati apa betul Teh Mayang yang memuja kuntilanak demi kekayaan. Namun aku tepis pikiran buruk itu. Semoga bukan Kakakku pelakunya.
Ibu keluar dari dalam kamar dengan wajah pucatnya. "Neng tadi ada Kakakmu?" tanyanya.
"Iya Bu, singgah sebentar." ucapku sambil masuk kedalam dapur membuatkan Ibu teh hangat.
"Tadi Ibu sudah minum obat. Alhamdulillah, badan rasanya agak sehat, Neng, besok mau ke puskesmas mendampingi Bidan Susi." ucap Ibu sambil menyesap Teh hangat buatanku.
"Iya Bu, yang penting Ibu sehat dulu!" Ibu sering ikut ke puskesmas mendampingi Bidan Susi dan antara mereka selayaknya Ibu dan Anak saja.
______
Sore yang indah dengan cuaca yang cerai membuat Desa terasa hidup. Aku sedang berdiri menunggu antrian cilok di kagetkan dengan kedatangan Emak Enah dengan panik.
"Emak teh kenapa atuh?" tanya Teh Dian. Yang sama denganku sedang ngantri cilok kuah pedas.
"Ituu, Neng Sumi kejang-kejang!"
"Astaghfirullah..!" teh Dian berlari ke rumahnya Mak Enah. Aku menuntun wanita sepuh itu.
"Mak mana Neng Putri." ucapnya dengan wajah yang sudah menua itu banjir dengan air mata.
Dengan tergesa aku memanggil Ibu yang kebetulan sedang di belakang rumah. "Ibu itu ada Mak Enah nyariin Ibu sambil menangis." ucapku tanpa jeda.
Mendengar ucapanku, Ibu tergesa mencuci tangan. ”Di mana atuh Neng, Mak Enahnya."
Aku mengekor Ibu di belakang ternyata Mak Enah sudah tidak ada. "Kita kerumahnya saja Neng! kunci pintu rumah!"
Di rumahnya Mak Enah sudah banyak orang. Raung tangisan terdengar sangat menyayat hati.
"Ya Allah, apa yang terjadi sama Mak Enah!" gumam Ibu.
Di ruang tamu yang sempit Teh Sumi sedang sakaratul maut di bimbing sama Abak Kodir. Mata melotot dengan kedua tangan mencekik lehernya sendiri.
"Kenapa? harus Sumi kenapa? harus Anakku!" ratap perempuan sepuh itu.
Teh Sumi terus saja mengerang seperti orang yang sedang kesurupan tangannya tidak bisa di lepaskan dari lehernya. Teh Sumi men-ce-kik lehernya sendiri.
Tidak berapa lama jerit tangis terdengar sangat riuh. "Astaghfirullah!" Teh Sumi terkulai dengan lemas nyawa meninggalkan raganya gadis keterbatasan itu sudah menghembuskan nyawanya dengan cara yang sepertinya sangat menyakitkan.
"Inalillahi wainailaihi rojiun!" ucap Abah Kodir tangannya mengusap mata Teh Sumi yang melotot dengan menyisahkan pupil mata yang putih saja.
Mak Enah terjatuh tidak sadarkan diri. Di bopong sama ibu-ibu sedang Abah Kodir tertunda sambil terisak menangisi kepergian Teh Sumi yang tidak wajar itu.
Tadi siang aku masih bercerita sama Teh Sumi. Tapi kenapa? sekarang Allah ambil nyawa wanita itu. Tidak terasa air mata ini meleleh. Aku jongkok di samping rumah sambil menangis
wajahku tenggelam di antara kedua lutut.
Teh Mayang melintas di depanku dengan senyum yang menyeringai tidak ada tanda-tanda duka seperti yang lainnya.
”Neng kamu kenapa? jongkok di situ?" tanya Teh Mayang sambil memegang pucuk kepalaku.
Aku mendongak menatap wajah Kakak perempuanku itu. Wajahku sudah kusut terlalu banyak menangis. Emang Teh Sumi hanya sebatas tetangga tapi Teh Sumi sangat dekat denganku. Keterbatasan Teh Sumi di jauhi sama yang lainnya hanya aku satu-satunya yang sering mendengar kan keluh kesahnya.
"Teh Mayang lagi ngapain di sini?" tanya balikku.
"Loh.. Lagi melihat si Sumi!"
"Oh.. Tadi pagi Teteh ngasih ikan yang sangat besar sama Teh Sumi. Tapi tanpa Teh Sumi sadari ikan itu yang memisahkan jiwa di dalam raganya!" ucapku dengan ketus.
”Maksudmu apa? Putri?" bentak Teh Mayang matanya jelalatan takut obrolannya denganku ada yang mendengar.
"Apa kamu tidak kasihan dengan Mak Enah yang sudah sepuh sementara Teh Sumi tulang punggung wanita renta itu!" desisku. Lalu bangun dan berdiri mensejajarkan dengan Kakakku itu.
”Kamu itu sudah ngaco. Seperti orang yang sedang mabok kecubung!" pekiknya tertahan. Lalu berjalan meninggalkan aku yang sedang menatap tajam ke arahnya.